Awal mula Kepanduan atau scout boy
dapat diterima di dunia adalah ketika Robert Baden Powell sekitar tahun 1898-an menulis sebuah buku yang berjudul "Aids to Scouting", buku yang berisi ringkasan ceramah yang dia
berikan mengenai peninjau ketentaraan, untuk membantu melatih perekrutan tentara
baru dan kaidah lain tentang melatih berpikir sendiri, menggunakan daya usaha
sendiri, dan untuk bertahan hidup dalam hutan.. Buku ini ditulis sebelum beliau
berangkat ke Afrika yang ke-2 kalinya dalam tugas militer sebagai pemimpin
pasukan.
setelah
selesai menjalankan tugas di Afrika, beliau kembali ke Inggris Raya pada
beberapa tahun kemudian. Beliau kaget, ternyata karyanya telah menjadi buku
paling laris dan telah digunakan oleh para guru dan organisasi remaja pada saat
itu, dan Baden Powell tidak menyangka bahwa karyanya menjadi inspirasi banyak orang.
setelah itu, Baden Powell kembali menulis buku karyanya "Aids to Scouting" agar sesuai
dengan pembaca remaja.
Pada
tahun 1907, Baden Powell mencoba membuat satu perkemahan di pulau Brownsea
bersama 22 anak laki-laki dari berbagai latar belakang yang berbeda untuk
menguji ide-idenya dalam buku yang dia terbitkan.
Ketika tahun 1908, beliau kembali menulis Buku yang
berjudul "Scouting for Boys"
yang dia tulis dalam enam terbitan.
Salah
satu yang paling menarik dari terbitannya adalah buku “Scouting for Live” yang isinya menjadi dasar-dasar kepanduan di seluruh
Dunia. Dalam buku tersebut tertulis
sebuah janji kepanduan (The Scout Promise)
dan 10 hukum kepanduan (Scout Law)
yang di Indonesia dikenal dengan sebutan Trisatya dan Dasa Darma.
Pada tahun 1918,
Baden Powell juga menerbitkan buku yang berjudul “Rovering to Succes”, sebuah buku yang menjadi dasar pramuka penegak.
Buku ini memberikan ilustrasi tentang seorang pemuda yang harus mengayuh sampan
sendiri dan harus mampu menghadapi semua “karang” (tantangan), Karang tersebut
adalah karang tak bertuhan, berjudi, minum-minuman keras, berpoya-poya dan
mementingkan diri sendiri (serakah dan munafik).
Jika kita
cermati, kenapa kepanduan bisa diterima di seluruh dunia termasuk di Indonesia?
Karena isinya sesuai dengan kaidah-kaidah,
kultur dan kemaslahatan umat di seluruh dunia, atau bahasa kerennya bersifat Universal.
Dan yang menarik dari pribadi
seorang Baden Powell yang perlu kita teladani adalah ketika beliau mengabdikan
sisa hidupnya di Nyeri-Kenya, sebuah desa pedalaman kecil di Pegunungan Afrika
dengan rasa ikhlas, penuh keramahan dan kekeluargaan. Padahal kalau beliau mau,
dia bisa hidup mewah di Inggris Raya karena beliau adalah seorang perwira
tinggi berpangkat Letnan Jendral yang punya titel “Lord” dari kerajaan Inggris dan penerima 28 gelar dari negara
asing.
Di
Indonesia, juga ada seorang tokoh pramuka dan prajurit yang patut kita teladani,
Beliau adalah Jendral Besar Soedirman, seorang perwira yang taat beragama, pantang
menyerah, diteladani dan disayangi bawahannya.
Awal karir beliau dimulai dari Pramuka. Pada usia belasan
tahun Beliau merupakan aktivis Hisbul Wathan, sebuah organisasi kepanduan
dibawah naungan Muhamadiyah. Sudirman muda terkenal disiplin dan giat di
organisasi Pramuka Hizbul Wathan yang kemudian menjadi guru di sekolah HIS
Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah
kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan
Perang. Kita yakin bahwa semangat berjuang yang gagah berani dan pantang
menyerah dari beliau, salah satunya terbentuk melalui kepramukaan.
Menyikapi permasalahan generasi muda di era modernisasi
seperti sekarang ini, kita menjadi miris dibuatnya.
Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang ustadz guru
ngaji di sebuah madrasah, ustadz tersebut mengatakan banyak murid-muridnya yang
masih kecil lebih suka nongkrong berjam-jam di rentalan Playstation, yang sudah
beranjak remaja lebih suka nongkrong di warnet, tapi jika diajak ngaji susahnya
minta ampun.
Arus
globalisasi terasa begitu kuat pada generasi muda, sehingga karakteristik
bangsa berangsur-angsur semakin pudar.
Anak remaja sekarang lebih memilih meniru gaya hidup sang
idolanya daripada mempelajari semangat berjuang untuk meraih sukses dari sang
idolanya tersebut.
Diantara mereka, ada juga yang memilih gaya berpaikaian
dari konsep aliran musik, dari mulai menerapkan asesoris ditubuhnya sampai merubah
gaya rambut, padahal mereka tidak begitu tahu tentang falsapah dari aliran
musik yang dia sukai.
Belum
lagi masalah kenakalan remaja yang semakin meningkat, video vorno yang menyebar
di smartphone remaja yang belum cukup umur , budaya malas karena termanjakan
oleh fasilitas teknologi yang semakin lengkap, masalah gank motor dan masih
banyak lagi.
Hal
tersebut bisa kita bentengi dengan salah satunya adalah kembali ke ruh pramuka
secara utuh.
Kita sering melihat bahwa pramuka sekarang ini adalah organisasi
wajib di sekolah formal yang ketika mereka tidak hadir latihan maka akan
mendapat hukuman, dimana Trisatya dan Dasa Darma menjadi hapalan wajib setiap
anggotanya tanpa mengerti betul isi kandungan didalamnya. Sehingga pramuka
hanya sebagai atribut, bukan sebagai filosofi.
Perlu kita buka kembali
lembaran sejarah, pada World Scout Conference yang
bersidang di Durban, Afrika Selatan, bulan Juli 1999, dimana
telah diterima
secara bulat oleh seluruh organisasi kepramukaan sedunia, rumusan Pernyataan Misi Kepramukaan. Pernyataan ini didasarkan pada
Konstitusi (Anggaran Dasar) WOSM, yang dimaksudkan untuk menegaskan
kembali peran kepramukaan sekarang ini.
Pernyataan Misi Kepramukaan itu
adalah turut menyumbang pada pendidikan kaum muda, melalui
suatu sistem nilai yang didasarkan pada Satya dan Darma Pramuka, guna membantu
membangun dunia yang lebih baik, di mana orang-orangnya adalah pribadi yang
dirinya telah berkembang sepenuhnya dan memainkan peran konstruktif di dalam masyarakat.
Hal
ini dicapai dengan; dengan
sukarela melibatkan kaum muda dalam proses
pendidikan nonformal secara terus-menerus
dalam pembentukan kepribadiannya, menggunakan
metode khusus yang membuat masing-masing pribadi menjadi penggerak utama dalam
pengembangan dirinya sendiri untuk menjadi orang yang mandiri, siap membantu
sesamanya, bertanggungjawab dan merasa terpanggil, membantu mereka dalam membentuk
suatu sistem nilai yang didasarkan pada asas-asas spiritual, sosial dan
personal, sebagaimana dinyatakan dalam Satya dan Darma Pramuka.
Intinya ; karakter terbentuk dari
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus, dan di Pramuka sangat
potensial untuk hal itu.